Kamis, 22 Oktober 2009

UN YANG MENGEJAR KUANTITAS

Seperti halnya UN targetnya sebenarnya adalah qualitas, tapi karena berbagai hal kepentingan jadi digeser ke quantitas.
Ada beberapa orang guru yang menyatakan tidak adil 3 tahun harus duji dalam seminggu, tapi yang jadi pertanyaan apakah waktu 3 tahun itu sudah dibekali secara kualitas belum?
Contoh kalau kita bertahan pada kualitas maka anak yang tidak mampu naik kelas maka akan tinggal tetap di kelas itu.
Nah kalau begini berarti yang naik ke ke kelas 3 adalah siswa-siswa berkualitas.
Jadi mau dikasih UN dengan standar berapapun guru tidak perlu khawatir kan mereka anak2 berkualitas, kenyataan yang ada sering kali guru menaikan angka anak2 yang kurang, so anak2 juga berpikir ngapain belajar toh nilai juga bisa di mark up kaya anggaran he3x.....
Nah ini dia dunia pendidikan Indonesia bersifat tidak mendidik dan akhirnya menghancurkan mentalitas bangsa
Mau sampai kapan ini berlangsung, mau model apa kurikulumnya tetap ya berjalan mundur dunia pendidikan kita kalau quantitas jadi penilaian
Jadinya pas UN semua sibuk dari guru, Kepala Sekolah terus mungkin Kepala Dinas dan mungkin juga Kepala Daerah takut dianggap tidak mampu.
Barangkali DIKNAS dan yang terkait seharusnya memikirkan hal ini. Kita adalah suatu mata rantai yang akan menentukan keberhasilan pendidikan ini. Jadi keberhasilan yang nanti muncul bukan karena satu orang saja tapi semua perangkat.
Begitu juga kalau terjadi kegagalan, Begitu mendapat informasi bahwa pencetakan soal diserahkan di perguruan tinggi yang terpercaya dan membaca POS UN bahwa LJUN langsung dimasukkan amplop dan dilak/segel di ruang ujian, harapan baru muncul dan yakin UN akan terlaksana secara murni.
Eeee...mata jadi terbelalak melihat tayangan tv, kuping panas mendengar laporan kawan guru yang mengawas di lain sekolah, laporan peserta didik yang menerima banyak SMS tentang abcde (peserta didik kami sudah kami doktrin untuk mengabaikan SMS abcde )
Kalau kita cermati menjelang palaksanaan UN tahun ini, sedikit sekali tulisan yang membahas tentang UN di surat kabar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini mungkin disebabkan orang sudah bosan membahas topik UN. Dari tahun ke tahun kekurangan dan dampak negatif UN di tunjukkan dan dibahas, tetapi belum ada perubahan yang memuaskan, sampai hari ini tentunya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mungkin treatment yang kita berikan untuk mengobati penyakit itu tidak tepat. Kita ambil beberapa contoh.
Pertama, agar anak-anak kita lulus UN umumnya sekolah memberikan tambahan jam pelajaran. Di beberapa sekolah tambahan jam belajar sangat fantastis, bahkan ada yang punya ide agar anak-anak diisolasi menjelang UN. Seakan akan 42 jam belajar seminggu tidak cukup untuk anak-anak kita. Padahal akar permasalahannya mungkin bukan karena kurangnya jam belajar siswa. Mungkin karena banyaknya mapel yang harus dipelajari (termasuk mapel non UN), metode mengajar guru, strategi belajar siswa, kurang efektifnya proses belajar mengajar, dan kemungkinan yang lain. Yang kedua, ini sangat mengerikan, untuk mengatasi kemungkinan kecurangan dan kebocoran maka aparat polisi pun diturunkan, berpatroli ketempat-tempat pelaksanaan UN, bahkan tidak tahu salahnya apa soal-soal UN juga harus dijebloskan ke sel tahanan di kantor polisi.
Pengawas harus diawasi, ada tim independent untuk mengawasi tim yang tidak independent, guru bidang studi harus diisolasi dirumah ketika mapel nya diujikan. Sungguh seperti negara dalam keadaan gawat darurat. Dengan ini diharapkan tidak ada lagi kebocoran dan kecurangan. Nyatanya?
Kita harus berpikir mengapa para guru, kepala sekolah, anak-anak kita rela mempertaruhkan harga diri mereka, yang mungkin bisa berakibat sangat fatal untuk masa depan mereka, untuk menempuh cara yang kurang baik sekedar untuk lulus UN? Mengapa kita tidak mau menempatkan diri kita pada posisi psikologis mereka? Mudah-mudahan pihak-pihak yang terkait sudah melakukan survey tentang faktor-faktor yang menyebabkan kenekatan para guru,kepsek, para siswa, dll untuk melakukan tindakan yang kurang terpuji tersebut dan menggunakan hasil survey itu untuk memberikan treatment yang pas pada pelaksanaan UN.
Kita harus bersimpati kepada anak-anak kita yang sdg berjuang menempuh UN, bukan menyalahkan mereka. Tindakan curang yang dilakukan oleh beberapa siswa adalah dampak dari sistim UN. Status nilai UN sebagai penentu kelulusan, Jadwal yang terlalu berat, sehari 2 pelajaran (coba bandingkan dengan jadwal ujian A-Level dari CIE yang seminggu satu paper saja), bentuk soal multiple choice saja (benarkan ini bentuk soal yang terbaik untuk mengukur kemampuan siswa), standar keny amanan tempat pelaksanaan test, dll adalah hal-hal yang mungkin mengiringi faktor penyebab pelanggaran yang terjadi di UN.
Saya yakin tindakan curang yang terjadi selama UN bukan karena bobroknya moral siswa-siswa kita karena para gurunya tidak mungkin mengajarkan yang demikian. Dalam kondisi tertentu/tertekan orang jujur bisa mnejadi culas, orang baik bisa menjadi buruk. Bukan berarti saya mentolerir kecurangan yang terjadi pada UN lho...Saya cuma berpikir jangan-jangan kita belum mampu melaksanakan UN yang manusiawi.
Mari kita terus berjuang untuk mencari yang terbaik.

Rabu, 09 September 2009

Minggu, 07 Desember 2008

Love is Chance or Choice

Saat kita bertemu dengan seseorang yang sempurna, yang kita cintai di saat yang tepat, di tempat yang tepat dan di waktu yang tepat. Itu adalah kesempatan.

Saat kita bertemu seseorang yang membuat kita tertarik. Itu bukan pilihan. Itu adalah kesempatan. Selalu bersama/bertemu dalam suatu waktu (dan banyak pasangan yang jadian karena hal ini) bukanlah suatu pilihan. Itu adalah kesempatan .

Perbedaannya adalah setelah semuanya itu terjadi. Kapan kita akan membawa rasa cinta, suka, ketertarikan tersebut naik ke tingkat selanjutnya?

Ketika kemudian akal sehat kita kembali bermain, kita akan duduk dan menimbang kembali apakah kita ingin melanjutkan hubungan tersebut atau melepaskannya.

Jika kita memilih untuk mencintai seseorang tersebut, meskipun dengan segala kekurangannya, itu bukanlah kesempatan. Itu adalah pilihan.
Disaat kita memilih untuk bersama dengan seseorang, tidak peduli dengan hal lainnya. Itu adalah pilihan Meskipun kita tahu banyak orang di luar sana yang lebih menarik, pintar, dan lebih kaya daripada pasangan kita, dan ya, kita memutuskan untuk tetap mencintai pasangan kita apa adanya. Itu adalah pilihan.

Cinta, suka, ketertarikan datang kepada kita dari kesempatan. Tetapi cinta sejati itu adalah sungguh- sungguh suatu pilihan. Sebuah pilihan yang kita buat. Berkenaan dengan teman sejiwa atau pasangan hidup, ada sebuah kutipan indah dari seorang bijak : "Nasib membawa kita untuk bersama, tetapi untuk tetap bersama sampai akhir itu semua tergantung dari diri kita."

Kita percaya bahwa teman sejiwa itu benar-benar ada. Bahwa ada seseorang khusus diciptakan untuk kita. Tetapi itu masih tetap tergantung pada diri kita untuk membuat pilihan tersebut, apakah kita akan melakukannya atau tidak.

Kita mungkin akan menemukan teman sejati kita dengan kesempatan yang ada, tetapi untuk mencintai dan bersama dengan teman sejiwa kita, itu adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya.

Kita datang ke dunia ini bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk mencintai....

Tetapi untuk belajar, bagaimana mencintai seseorang yang tidak sempurna dengan sempurna. ..